tbs_bambang | Keyboard Mallfunction
11.05 | Author: Unknown
Keyboard Mallfunction, adalah aplikasi sederhana dimana aplikasi ini memanipulasi data inputan dengan yg ditampilkan. Aplikasi ini dibuat untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah Interaksi Komputer dan Manusia jurusan Teknik Informatika Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS).
Namun demikian aplikasi ini masih perlu penambahan fitur dan fungsi-fungsi untuk memaksimalkan aplikasi ini.
untuk dapat mengembangkan aplikasi ini kedepan diharapkan saran yang konstruktif. Terima Kasih...,:)
berikut screenshootnya:

baca selengkapnya “tbs_bambang | Keyboard Mallfunction”
Menyandarkan hati kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-  adalah termasuk ibadah yang sangat diperintahkan dalam Islam. Hal itu karena seorang hamba selalu memerlukan Rabb-nya dalam setiap keadaan.
Allah -Subhanahu wata’ala- sendiri telah menyifati diri-Nya dengan Dzat yang menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya:

الله الصمد

Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (QS. al-Ikhlâsh: 2)
Ibrahim berkata: ”ash-Shamad artinya Dzat yang menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam kebutuhan-kebutuhannya”. (ad-Durr al-Mantsūr, jilid 15, hlm. 782)
Bergantung kepada Allah setiap saat.
Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- telah mengajarkan umatnya beberapa doa yang khusus untuk dibaca setiap pagi dan sore hari atau yang lebih dikenal dengan adzkâr ash-Shabâh wa al-Masâ` (dzikir pagi dan petang). Di dalamnya banyak berisi permohonan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-, antara lain doa agar diberikan perlindungan dan keselamatan pada hari atau malam itu.
Salah satu doa Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- tersebut adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas -radhiallohu anhu- berikut, ia berkata: Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- berkata kepada Fatimah -radhiallohu anha-

مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِيْ مَا أُوْصِيْكِ بِهِ ؟ أَنْ تَقُوْلِيْ إِذَا أَصْبَحْتِ وَإِذَا أَمْسَيْتِ

Apa yang menghalangimu dari mendengarkan wasiatku kepadamu ? Hendaklah engkau membaca (doa ini) apabila berada di waktu pagi hari dan sore hari:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Wahai Dzat Yang Maha Hidup Kekal, Wahai Dzat Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah semua urusanku dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku walaupun hanya sekejap mata”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 48 dan dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah, jilid 1, hlm. 449, no. 227)
Hal itu menunjukkan bahwa seorang hamba harus senantiasa merasa bergantung kepada Allah dalam setiap keadaan.
Kembali kepada Allah meskipun dalam permasalahan yang terlihat sepele.
Dalam permasalahan yang terlihat sepele dan ringan saja, seorang muslim dianjurkan dan diperintahkan agar berdoa kepada Allah. Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- bersabda:

لِيَسْتَرْجِعْ أَحَدُكُمْ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ، حَتىَّ فِيْ شِسْعِ نَعْلِهِ، فَإِنَّهَا مِنَ الْمَصَائِبِ

Hendaklah seorang dari kalian mengucapkan istirjâ’ (Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ūn: sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya semata kita akan kembali) meskipun dalam hal tali sandalnya, karena hal itu adalah termasuk musibah. (Hadits hasan, al-Kalim ath-Thayyib, dengan takhrîj al-Albani, hlm. 81, no.140)
Contoh Sikap Bergantungnya orang Shalih kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-.
Apabila kita buka lembaran sirah para ulama, maka akan didapati banyak sekali praktek mereka dalam menjalankan ibadah yang sangat agung ini, yaitu bersandar kepada Allah dalam segala hal, setiap waktu dan semua permasalahan.
Berikut ini adalah beberapa contoh praktek mereka dalam bersandar kepada Allah.
1. Abu Hanifah.
Apabila beliau mendapatkan kesulitan, beliau beristighfar kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Abu Ja’far al-Balkhi, salah seorang ahli fiqih, ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwasanya Abu Hanifah -semoga Allah merahmatinya- dahulu apabila mendapatkan kesulitan dalam suatu permasalahan atau mendapatkan syubhat di dalamnya beliau berkata kepada para sahabatnya: “Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang telah aku perbuat”, lalu beliau beristighfar dan kadang-kadang beliau berwudlu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka terselesaikanlah masalahnya, lalu beliau berkata: “Aku optimis, karena aku berharap bahwasanya aku telah diampuni oleh Allah sehingga aku dapat menyelesaikan masalah tersebut”.
Ketika berita ini sampai kepada Fudhail Bin ‘Iyadh, ia menangis sejadi-jadinya lalu berkata: “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, hal itu dapat terjadi karena sedikitnya dosa yang ia miliki, sedangkan selain beliau, mereka tidak memperhatikannya, karena dosanya telah menenggelamkan dirinya”. (‘Uqūd al-Jumân fî Manâqib al-Imâm al-A’zham Abu Hanîfah an-Nu’mân, karya Imam Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi asy-Syafi’i (wafat 942), hlm. 228-229)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Apabila beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur`an, beliau memohon kepada Allah seraya membaca:

الَلَّهُمَّ يَا مُعَلِّمَ آدَمَ وَإِبْرَاهِيْمَ، عَلِّمْنِيْ، وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِيْ

Wahai Dzat yang mengajari Adam dan Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada Sulaiman, jadikanlah aku paham.
Setelah membaca doa ini, Allah pun mengabulkan permintaannya. (al-Majmū’ah al-’llmiyyah, hlm. 181, karya Syaikh Bakr, jauh sebelumnya ungkapan ini sudah dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lâm al-Muwaqqi’în, jilid 4, hlm. 257 dengan lafal yang lebih pendek)
3. Abu Ishaq p-Syirazi.
Imam an-Nawawi -rahimahullah- menjelaskan tentang keadaannya, bahwasanya dirinya tidak mengatakan tentang suatu masalah pun melainkan mendahuluinya dengan beristi’ânah (memohon pertolongan) kepada Allah. Selain itu juga, tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan mendahuluinya dengan shalat beberapa rakaat. (Muqaddimah al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 15)
4. Urwah Bin Zubair.
Beliau mengatakan:

إِنِّيْ لأَدْعُوْ اللَّهَ فِيْ حَوَائِجِيْ كُلِّهَا، حَتَى بِالْمِلْحِ

Sesungguhnya aku benar-benar berdoa kepada Allah dalam segala keperluanku sampai (dalam hal) garam. (al-Fawâkih ad- Dawâni Syarh Risâlah Ibn Zaid al-Qirwâni, karya Ahmad bin Ghunaim al-Maliki, jilid 1, hlm. 211)
5. Sa’id bin al-Musayyib.
Hampir-hampir Sa’id Bin al-Musayyab tidak berfatwa dengan suatu fatwa atau melontarkan suatu ucapan melainkan mengatakan:

الَلَّهُمَّ سَلِّمْنِيْ وَسَلِّمْهُ مِنِّيْ

Ya Allah, selamatkanlah aku dan selamatkanlah ia dariku. (al-Madkhal ilâ as-Sunnan al-Kubrâ, karya al-Baihaqi, no. 824, hlm. 439-440)
Bergantung kepada selain Allah termasuk perusak hati.
Sesungguhnya hati manusia dapat menjadi rusak disebabkan oleh beberapa perusak, di antaranya adalah bergantungnya seseorang kepada selain Allah.
Ketika Ibnul Qayyim t menjelaskan tentang perusak-perusak hati dalam Madârij as-Sâlikîn, beliau menerangkan bahwa bergantung kepada selain Allah -subhanahu wa ta’ala- termasuk perusak yang paling besar terhadap hati secara mutlak, karena tidak ada yang lebih berbahaya dan lebih dapat memutuskan hati dari kebaikan dan kebahagiaanya dari pada bergantung kepada selain Allah tersebut. Selain itu, apabila seseorang bergantung kepada selain Allah -subhanahu wa ta’ala-, maka ia akan diserahkan kepada objek yang menjadi tempat bergantungnya tersebut. (Madârij as-Sâlikîn, jilid 1, hlm. 492)
Orang yang bergantung kepada selain Allah telah merugi dengan kerugian yang besar karena telah bergantung kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan madharat.
Ibnul Qayyim telah membuat perumpamaan berikut: “Perumpamaan orang yang bergantung kepada selain Allah itu laksana orang yang berteduh dari dingin dan panas dengan sarang laba-laba, yang merupakan selemah-lemahnya rumah” (Madârij as-Sâlikîn, jilid 1, hlm. 492)
Setelah mengetahui bagaimana pentingnya kembali, bergantung dan bersandar kepada Allah dalam segala urusan, maka kita akan mengetahui pentingnya melakukan shalat istikhârah dan membaca do’anya sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah n. Bahkan al-Imam al-Qurthubi mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan: “Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk maju dan memilih suatu perkara duniawi sampai ia meminta kepada Allah pilihan dalam hal itu dengan shalat istikhârah sebanyak dua rakaat “. (al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jilid 18, hlm. 306)
Semoga Allah memberi bimbingan kepada kita untuk dapat selalu bergantung kepada-Nya dan melindungi hati-hati kita dari sikap ketergantungan kepada selain-Nya.
Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 49, hal. 37-40
baca selengkapnya “Hati Yang Tenang, Hati Yang Selalu Bersandar Kepada Allah Swt”
Menyiapkan Bekal Untuk 'Hari Esok'
10.28 | Author: Unknown
Di dalam Alquran Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok; bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengawasi apa saja yang kalian lakukan (TQS al-Hasyr [59]: 18).

Imam Ali ash-Shabuni, di dalam kitab tafsirnya, Shafwah at-Tafasir, saat menafsirkan ayat tersebut menjelaskan antara lain tiga hal penting. Pertama: Bertakwalah kepada Allah, maknanya adalah takut kepada Allah dan merasa khawatir dengan azab-Nya, dengan cara menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Berdasarkan penjelasan Imam ash-Shabuni ini, berarti tak ada gunanya klaim bahwa kita takut kepada Allah dan azab-Nya jika kita tidak melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebab, iman sendiri, sebagaimana sabda Baginda Nabi SAW bukan sekadar pengakuan di mulut dan pembenaran di kalbu tapi  butuh pembuktian dalam amal perbuatan. 

Kedua: Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok, maknanya adalah: hendaklah setiap orang memperhatikan amal shalih apa yang telah dia perbuat untuk bekal menghadapi Hari Kiamat. 

Apa yang disebut dengan amal shalih? Amal shalih adalah seluruh amal kebajikan yang menurut para ulama harus memenuhi tiga syarat: (1) Dilandasai oleh iman kepada Allah SWT. Dengan demikian, amal apapun yang dalam pandangan manusia dianggap baik (misal: gemar menolong sesama, dermawan, dll) tidak disebut sebagai amal shalih di mata Allah SWT selama pelakunya adalah kafir. Allah SWT menyamakan amal-amal orang kafir ini seperti fatamorgana alias tak berbekas sama sekali. (2) Didasari niat semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Cirinya antara lain: tidak riya dan sum'ah (berharap pujian dari manusia) serta beramal dengan amal yang terbaik kualitasnya. Ikhlasnya shalat seseorang, misalnya, selain tidak disisipi sikap riya dan sum'ah,  tampak  dari   kualitas shalatnya: khusyu' dan khudhu'  (tunduk/merendahkan diri) saat shalat, tuma'ninah, tidak tergesa-gesa, bacaannya tartil, dll. Dakwah yang ikhlas, misalnya, adalah dakwah yang selalu disiapkan dengan optimal dan direncanakan dengan matang; tegas dan lurus dalam penyampaian (qawl[an] sadid[an]/tidak samar dalam menyatakan halal-haram); didasarkan pada hujjah yang haq, dengan tutur kata yang baik, didasarkan rasa cinta (bukan kebencian) kepada yang didakwahi, dll. (3) Sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW yakni tatacara (kayfiyah)-nya sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh beliau,  kecuali dalam hal yang terkait dengan uslub dan wasilah. Semua amal kebajikan—seperti shalat, shaum, zakat, haji, mencari nafkah, bersedekah, menuntut ilmu, berdakwah, melakukan amar makruf nahi munkar, berjual beli, berpolitik, mengurus rumah tangga dan keluarga, mengurus rakyat, dll—bisa dikategorikan sebagai amal shalih jika memenuhi kriteria di atas. Semua amal shalih itu adalah bekal seseorang untuk menghadap Allah SWT pada Hari Akhir nanti.

Ketiga:  Hari Kiamat disebut dengan 'hari esok' karena begitu dekat saat kedatangannya. Berdasarkan penjelasan Imam Ali ash-Shabuni ini, jelas bahwa terjadinya Hari Kiamat sangatlah cepat. Hal ini bisa dipahami karena usia kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya amatlah singkat dibandingkan kehidupannya nanti di akhirat yang abadi. Usia manusia di dunia saat ini rata-rata berkisar 60-70 tahun. Bahkan Rasulullah SAW dan generasi para Sahabat yang hidup lima belas abad yang lalu pun usianya berkisar di angka tersebut. Betapa singkatnya. Bayangkan, mereka yang telah wafat lima belas abad yang lalu itu, rata-rata hidup di dunia ini tidak lebih dari 70 tahun. Artinya, jika dihitung sampai hari ini, masa hidupnya di dunia yang rata-rata 70 tahun itu jauh lebih singkat dibandingkan dengan masa penantiannya yang 'panjang' di alam kuburnya. 

Bandingkan pula rata-rata umur manusia di dunia ini dengan umur benda-benda langit yang konon menurut para ahli diciptakan oleh Allah SWT milyaran tahun yang lalu. Para astronom memperkirakan bahwa di alam raya ini terdapat milyaran galaksi dengan sekitar 1.000 trilyun planet dan bintang. Di antara bintang-bintang itu ada yang berukuran ribuan kali besar matahari, yang jaraknya dari bumi adalah jutaan tahun cahaya. Satu tahun cahaya kira-kira 9.416 milyar km atau sekitar 10.000 tahun! Mustahil jarak tersebut bisa dilampaui manusia yang usianya super pendek itu. 

Lalu bagimana jika usia manusia di dunia yang super singkat itu dibandingkan dengan keabadian kehidupannya di akhirat nanti? Tentu tak ada apa-apanya. Namun demikian, justru kehidupan yang sangat singkat di dunia inilah yang menentukan apakah manusia bahagia (masuk surga) atau sengsara (masuk neraka) di kehidupan akhirat nanti. Akhirat itulah yang Allah SWT sebut dengan 'hari esok'. Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menyongsong 'hari esok' yang amat dekat waktunya itu?! Wa ma tawfiqi illa billah. [http://mediaumat.com] abi 
baca selengkapnya “Menyiapkan Bekal Untuk 'Hari Esok'”
Berlomba ke Neraka
22.01 | Author: Unknown
Inna lillâhi wa inna iIayhi râji'ûn. Dengan ekspresi sedih, kata-kata itulah yang meluncur dari bibir Umar bin Abdul Aziz sesaat beliau dibaiat menjadi khalifah (kepala Negara Islam).
Sebelumnya, Umar memang sudah berusaha keras menolak untuk diangkat menjadi Khalifah. Namun, umat tampaknya lebih keras lagi 'memaksa' agar beliau bersedia menjadi Khalifah. Lalu terjadilah pembaiatan itu. Akhirnya, dengan ikhlas dan ridha, Umar menerima baiat umat. Namun, hal itu tidak membuat beliau tenang. Kegelisahan di dada ia bawa saat pulang ke rumahnya. Ia mengurung di kamarnya. Ia menangis. Dalam benaknya terbayang, jutaan rakyatnya siap menuntutnya di hadapan Pengadilan Allah pada Hari Kiamat nanti jika ia tidak bisa melayani, mengayomi dan melindungi mereka. Karena itulah, bagi beliau, amanah kekuasaan yang baru saja beliau terima adalah 'musibah besar'. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyadari betul sabda Baginda Nabi saw., “Sesungguhnya kekuasaan itu amanah. Pada Hari Kiamat nanti ia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haq dan menunaikan apa yang diamanahkan di dalamnya.” (HR Muslim).

*****
Dalam Islam, kekuasaan tentu bukan sesuatu yang haram. Bahkan hanya dengan kekuasaanlah Islam di muka bumi ini bisa benar-benar tegak, hukum-hukum Allah bisa kokoh berdiri, umat Islam bisa terlindungi dari ancaman musuh dan risalah Islam bisa tersebar luas dengan dakwah dan jihad. Dengan kekuasaan pula Islam sebagai rahmatan lil 'alamin betul-betul bisa terwujud. Itulah realitas yang benar-benar terjadi saat kekuasaan itu berada di tangan orang-orang salih, zuhud, wara' dan amanah seperti halnya Umar bin Abdul Aziz, atau generasi yang lebih awal, yakni Khulafaur Rasyidin.
Namun demikian, selama penguasa adalah manusia, bukan nabi, mereka berpotensi keliru dan menyimpang dalam menjalankan amanah kekuasaannya. Inilah yang senantiasa 'menghantui' generasi salafush-shalih sehingga sejauh mungkin mereka akan menolak jika diberi amanah kekuasaan. Jika pada akhirnya mereka 'dipaksa' harus menerima beban amanah kekuasaan, mereka begitu takut dihisab oleh Allah SWT pada Hari Akhirat nanti jika mereka tidak amanah. Inilah yang tergambar dari ucapan terkenal Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah SWT akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti.”
Inilah pula yang tergambar dari sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat beliau 'ditegur' oleh putranya, “Ayah, bagaimana jika ada rakyat Ayah yang begitu membutuhkan Ayah, sementara Ayah sedang duduk beristirahat di rumah?”
Seketika Khalifah Umar sadar, lalu bangkit dan kembali bekerja melayani rakyat. Padahal Khalifah Umar baru beberapa menit saja melepaskan penat. Keringat pun masih membasahi tubuhnya karena setiap hari hampir sebagian besar waktunya habis untuk mengurus dan melayani rakyatnya.
Jangan lupa, sikap dan perilaku para penguasa Muslim yang luar biasa seperti itu adalah saat negara benar-benar menerapkan syariah Islam secara total dalam institusi Khilafah Islamiyah. Artinya, selama mereka 'lurus-lurus' saja dan benar-benar menerapkan syariah itu secara benar, kekhawatiran untuk tidak amanah atau berlaku lalim terhadap rakyat seharusnya tidak perlu terjadi.
*****
Jika generasi salafush-shalih begitu khawatir dan takut menjadi penguasa, manusia-manusia zaman sekarang justru berlomba-lomba meraihnya. Dengan segala cara, meski harus menghamburkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, mereka berusaha mewujudkan mimpinya; entah menjadi presiden/wapres, sekadar menjadi kepala daerah, ataupun menjadi wakil rakyat. Dalam hal ini, 'keberanian' mereka mengalahkan 'keberanian' Khalifah Umar bin al-Khaththab atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bagaimana tidak! Keduanya, saat menjabat sebagai khalifah, begitu takutnya terhadap hisab Allah pada Hari Akhir nanti atas kepemimpinannya di dunia. Sebaliknya, manusia-manusia zaman sekarang yang sangat ambisi kekuasaan, begitu beraninya 'menantang' hisab Allah SWT.
Saat mereka berhasil menjadi penguasa, kepala daerah atau wakil rakyat, bukan kegelisahan dan isak tangis yang mereka tunjukkan (sebagaimana yang ditunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz), namun kegembiraan dan rasa syukur. Jika demikian, sesungguhnya mereka tidak sedang bersyukur, tetapi sedang ber-'sukur' (sukr, b. arab; mabuk). Ya, mereka sedang 'mabuk kekuasaan'. Mereka lupa bahwa dengan kekuasaan, jabatan atau posisi sebagai wakil rakyat yang mereka raih dalam sistem sekular yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah itu, mereka sebetulnya sedang berjalan menuju ke neraka; mereka sedang berlomba masuk ke dalamnya. Wal 'iyâdz billâh! 
mediaumat.com
baca selengkapnya “Berlomba ke Neraka”
Persiapan Dini menuju Pernikahan
23.14 | Author: Unknown

Polemik Nikah Dini
Fenomena pernikahan dini di Indonesia masih cukup menyita perhatian pemerintah maupun publik.  Sebagai bukti, pada tahun 2011 ini BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) makin gencar melakukan kampanye untuk mendorong agar jangan sampai terjadi pernikahan dini. BKKBN mencanangkan program bernama ‘Genre’ atau generasi berencana. Kampanye ini telah mengarah ke seluruh provinsi di Indonesia.  (detiknews, 18 Mei 2011)
Lembaga ini memang termasuk pihak yang paling gencar mengimbau masyarakat agar tidak menikah muda. Pasalnya, di Indonesia masih banyak orang yang menikah pada usia di bawah 20 tahun. Menurut lembaga ini, idealnya perempuan menikah di usia 20-35 tahun, sedangkan untuk pria usia 25-40 tahun dengan pertimbangan sudah matang secara medis dan psikologis.  Mereka berpandangan bahwa ketidakmatangan menikah di usia dini cenderung menyebabkan kehancuran rumah tangga dan resiko yang bersifat medis.
Polemik pun bergulir.  Sayangnya, perbincangan seputar nikah dini ini cenderung menyudutkan pelaku nikah dini.  Masyarakat pun latah untuk ikut ‘mengharamkan’ nikah dini menyusul munculnya beberapa kasus yang tidak diinginkan pada pelaku nikah dini.  Mereka lupa untuk mencari sebab hakiki terjadinya problematika yang muncul dari pernikahan dini ini.  Mereka hanya spontan menolak, tanpa memberi solusi lain bilamana pernikahan dini adalah perkara yang terpaksa harus dijalani.
Namun, di tengah gencarnya propaganda larangan menikah dini ini, tak sedikit pula yang justru mempertahankan konsep pernikahan dini.  Menurut kalangan ini, problematika yang menimpa pelaku nikah dini bukanlah disebabkan oleh faktor usia, namun oleh kesiapan saat menikah.  Sebab, tak semua pelaku nikah dini bermasalah.  Demikian pula, tak semua pelaku nikah di usia matang tidak menuai persoalan.  Intinya terletak pada kesiapan saat menikah yang harus dipenuhi baik oleh mereka yang masih dini (belia) maupun yang berusia matang.
Persoalan kesiapan menikah tak hanya menjadi penentu retak dan langgengnya bahtera rumah tangga pelaku nikah dini.  Persoalan ini juga penting mengingat maraknya perceraian juga   disebabkan oleh lemahnya persiapan sebelum menikah.  Pergaulan bebas muda mudi pun bisa jadi menjadi pelarian karena mereka belum memahami konsep pernikahan atau tidak mampu mempersiapkan pernikahan sehingga cenderung menunda pernikahan.  Dari sini penting untuk dipahami hal-hal yang harus dipersiapkan untuk menikah.
Sebagai bentuk persiapan, maka semakin dini dilakukan akan semakin baik.  Sehingga tatkala seseorang harus menikah kapanpun usianya -asal dibolehkan syariat- maka ia harus menguasainya demi keberlangsungan behtera rumah tangga.  Lantas, apa saja yang harus dipersiapkan?
Usia Bukan Persoalan
Pada dasarnya Islam membolehkan menikahi perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun.  Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 04)
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah -radhiya-Llahu ‘anha- dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Dengan demikian Islam memandang bahwa perempuan boleh menikah di usia dini.  Dengan kebolehan ini maka persiapan untuk itu pun harus dilakukan sejak dini.  Sebab, ketika seorang perempuan menikah -pada usia berapapun- ia harus mengetahui hukum syariat yang terkait dengan pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, pengasuhan anak, dll.  Jika ia sudah baligh maka ia terbebani hukum yang berkonsekuensi atas pahala dan dosa atas perbuatannya.
Meski syariat telah membolehkan, banyak kalangan menilai rendah bentuk pernikahan dini.  Mereka memandang pernikahan dini cenderung mengalami kegagalan.  Namun, benarkah kegagalan itu disebabkan oleh dininya usia pernikahan?  Jika didalami, sebenarnya kegagalan pernikahan tidak ditentukan oleh usia saat menikah, tapi lebih ditentukan oleh kesiapan saat menikah.  Buktinya, mereka yang menikah pada usia matang pun bisa gagal menjalani kehidupan rumah tangga.
Persiapan, Kunci Penting
Masalahnya, banyak yang menikah masih usia belia, persiapan menikahnya masih cenderung minim.  Apalagi dalam sistem sekuler seperti sekarang ini, penyelenggaraan pendidikan tidak mengarahkan siswa memiliki kematangan mental (emosional dan spiritual) sehingga rawan terpelanting saat menghadapi situasi sulit.  Sebagai contoh, siswa (laki-laki) SMP/SMA yang sudah baligh seharusnya memiliki pemahaman bahwa pada dasarnya ia diberi beban untuk menghidupi dirinya sendiri.  Ia tidak harus bergantung pada walinya.  Kemandiriannya dituntut berkembang saat menjelang baligh hingga saat baligh ia memiliki konsep hidup untuk berusaha tidak menyerahkan perwaliannya kepada ayahnya.
Begitu pula bagi siswi perempuan, sistem pendidikan sekuler tidak cukup memberi bekal ketrampilan hidup termasuk ketrampilan kerumah tanggaan.  Dengan demikian, tatkala ia harus berumah tangga (meski di usia belia) ia tak cukup memiliki kesiapan.
Berbeda dengan sistem Islam, maka dalam sistem Islam negara memberlakukan sistem pendidikan yang mampu mengarahkan setiap siswa untuk memiliki kemampuan sebagai orang yang mukallaf saat usia mencapai baligh.  Misalnya, mendidik saat seorang laki-laki sudah tidak harus bergantung kepada ayahnya, saat seorang perempuan baligh layak/ dibolehkan untuk menikah, saat mereka harus menata emosi meski berusia muda agar tidak menentang syariat dan sebagainya.
Sistem pendidikan Islam akan mampu mencetak remaja berkepribadian Islam yang memiliki kesiapan menikah saat kapanpun kesempatan itu datang .  Mempersiapkan menikah seharusnya diberikan sejak mereka baligh.  Sebab saat itulah mereka dianggap oleh syara’ telah layak untuk menikah.
Dengan demikian, usia belia yang dianggap sebagai ancaman bagi pernikahan bukan lagi masalah.  Secara fisik maupun mental mereka mampu, jika dipersiapkan.  Inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah dan kaum muslim dalam menilai berbagai persoalan yang mengiringi pernikahan dini.
Urgensi Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan yang sah menurut syariat Islam bagi dua lawan jenis untuk melakukan interaksi khusus (hubungan jenis) dengan aturan yang khusus.  Melalui pernikahan, keberlangsungan jenis manusia akan terwujud.  Melalui pernikahan pula akan diperoleh ketenangan dan kedamaian bagi suami isteri.  Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)
Keluarga sakinah mawaddah wa rohmah (Samara) tidak akan terwujud bila suami isteri tidak memahami hakikat berkeluarga.  Untuk itu, persiapan membentuk keluarga Samara ini mutlak diwujudkan sebelum pasangan memasuki jenjang pernikahan. Lebih-lebih, menikah bukanlah sekadar pelegalan hubungan seks laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, menikah adalah proses membangun keluarga. Karenanya butuh persiapan yang benar-benar matang, dari segi fisik maupun mental.
Di samping itu, perjalanan pernikahan tentu tidak semulus jalan tol.  Lika-liku permasalahan pasti dihadapi di tengah jalan.  Ketahanan suami isteri menghadapi badai rumah tangga menjadi kunci keberhasilan mempertahankan biduk rumah tangga.  Persiapan yang dilakukan sebelum mereka menikah menentukan semua itu.
Saat ini jamak dijumpai pasangan muda-mudi yang lebih rela menunda pernikahan dengan alasan belum ada kesiapan, baik yang berkaitan dengan materi maupun mental.  Oleh karena itu, persiapan menikah seharusnya dilakukan sedini mungkin.  Pada kondisi tertentu hal ini bisa menjadi jalan keluar bagi mereka yang sudah memiliki calon pasangan hidup untuk segera menikah sehingga terhindar dari dosa berpacaran dan pergaulan bebas.
Kesiapan menikah di usia dini bukan saja akan memberi kesempatan anak muda yang tengah bergejolak nafsunya untuk memperoleh kebaikan/pahala menikah sejak awal.  Di sisi lain, juga akan menyelamatkannya dari perbuatan dosa seperti pacaran, perzinahan dan sejenisnya tanpa harus khawatir kandas di tengah jalan.
Persiapan Menikah
Berikut ini diantara perkara yang mutlak disiapkan sebagai bekal untuk menikah:
Pertama, penguatan aqidah.  Setiap muslim wajib meyakini bahwa Allah SWT berkuasa memampukan hamba-hamba-Nya yang menikah di jalan-Nya.  Sikap tawakkal kepada Allah SWT juga harus dipupuk sejak dini sebagai bekal menapaki berbagai persoalan kehidupan rumah tangga.  Intinya, kekuatan aqidah menjadi benteng bagi setiap muslim dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.  Aqidah yang kuat juga akan menjaganya untuk tetap menyelesaikan semua persoalannya menurut hukum syariat.
Kedua, pemahaman konsep dasar pernikahan dalam Islam. Seorang muslim wajib memahami bahwa menikah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.  Ia bukanlah perjanjian antara orang berlainan jenis untuk hidup bersama.  Pernikahan harus senantiasa dibimbing oleh syariat, baik dalam tata penyelenggaraannya, maupun selama kehidupan pernikahan berlangsung.  Konsep dasar ini akan menentukan orientasi atau tujuan seseorang menikah.  Ia tidak akan mudah melepaskan ikatan pernikahan sebelum Allah berkenan untuk melepaskannya.
Ketiga, penguasaan hukum-hukum Islam seputar pernikahan. Setiap pasangan yang hendak menikah seharusnya menguasai pemahaman hukum-hukum syariah tentang pernikahan, mulai dari perkara yang harus dilakukan sebelum menikah seperti memilih calon suami/isteri, aturan khitbah, rukun nikah, masalah kehidupan rumah tangga, hak dan kewajiban suami isteri, masalah thalaq, hingga masalah pengasuhan anak dan silaturahmi.
Dengan pemahaman ini, pasangan yang hendak menikah memiliki bekal dan keyakinan bahwa biduk rumah tangga yang dijalaninya akan kokoh karena sudah dibangun berdasarkan ketentuan syariah.  Sang suami telah memilih isteri yang dianjurkan, melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan wali bagi anak-anaknya atau menjadi pemimpin dalam keluarga.  Demikian pula isteri, ia telah menjalankan ketaatannya kepada suaminya, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, atau bersama-sama suami menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabatnya dan lain sebagainya.  Semua itu akan terwujud dengan persiapan yang dilakukan sejak dini.
Keempat, membina diri menjadi muslim/muslimah berkepribadian Islam. Pembinaan kepribadian ini harus dilakukan sejak dini.  Seorang yang berkepribadian Islam akan berusaha mentaati seluruh aturan Allah SWT.  Muslim yang berkepribadian Islam akan bertanggung jawab dan membina diri menjadi calon pemimpin keluarga.  Demikian pula muslimah, ia harus menjaga kehormatannya dan membina diri menjadi calon manager (pengatur) rumah tangga.
Kepribadian Islam juga akan mengarahkan kecenderungan dan gejolak hawa nafsu seseorang senantiasa mengikuti aturan Allah.  Ia bukanlah orang yang mudah tergoda oleh kecantikan atau ketampanan orang yang bukan pasangannya (suami/isterinya).  Ia pun mampu mengendalikan gejolak emosinya sehingga tetap mampu berpikir jernih untuk mengisi kehidupan rumah tangganya dengan kebaikan.  Kepribadian yang tidak kuat akan mudah meruntuhkan bangunan rumah tangga.  Sayangnya, inilah yang sering terjadi pada pasangan nikah dini saat ini.  Mereka kurang memliki persiapan dari sisi ini, akibatnya cenderung merusak institusi keluarga yang seharusnya dijaga.
Kelima, pemahaman yang memadai tentang kesehatan fisik. Bagaimanapun, perjalanan pernikahan akan berkaitan dengan aktivitas fisik seseorang.  Bagi isteri, ia akan menjalani masa kehamilan dan menyusui.  Oleh karena itu, setiap muslim seharusnya memiliki pemahaman tentang tatacara menjaga organ-organ reproduksinya agar berfungsi dengan baik saat manjalani kehidupan rumah tangga.  Ia harus membiasakan menjaga kesehatan sejak dini sehingga terhindar dari penyakit yang bisa menghalangi fungsi-fungsinya sebagai isteri dan ibu.
Demikianlah diantara beberapa perkara yang harus disiapkan sebelum menikah.  Siapapun orangnya, baik yang masih belia maupun yang berusia matang, akan lebih mudah menjalani kehidupan rumah tangga bila semua persiapan tersebut telah dilakukan.
Tugas Bersama

Kini, menjadi tugas bersama untuk mewujudkan semua persiapan tersebut sejak dini.  Pemerintah seharusnya mempertimbangkan sistem pendidikan yang mengarahkan terwujudnya persiapan tersebut.  Dengan kesiapan ini, tak seharusnya pergaulan bebas menjadi pilihan pasangan muda mudi.  Dengan ini pula, tudingan miring pada pelaku nikah dini akan dieliminir karena mereka tetap mampu menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik.  Tingkat perceraian pun akan bisa diminimalisir karena ketahanan rumah tangga yang telah dibangun.
Demikianlah, setiap rumah tangga yang dibangun dengan persiapan yang matang akan melahirkan tujuan syariat yang dikehendaki.  Darinya terlahir keturunan yang shalih dan muslih, darinya pula terlahir keluarga yang mampu menopang berjalannya tatanan kehidupan masyarakat yang menjaga amar makruf nahi munkar.
Tentu saja, membina kesiapan menikah dalam sistem sekuler saat ini menjadi kesulitan tersendiri.  Oleh karena itu, seiring dengan upaya menyiapkan individu umat, selayaknya kita berupaya mengganti sistem sekuler ini dengan sistem Khilafah.  Karena hanya dalam sistem khilafah Islam saja semua persiapan menuju pernikahan akan sempurna dilaksanakan. Semoga kita dimudahkan untuk mewujudkannya.  Aamiin ya Robbal ‘Alamiin.

Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id
baca selengkapnya “Persiapan Dini menuju Pernikahan”